Sunday, May 29, 2011

CERPEN : Hidupku Itu Bukuku by fallon

“Heh kalian berdua cepat maju kedepan! saya lihat dari tadi kalian bergurau sendiri”, mereka berdua pun beranjak meninggalkan bangku dan menuju depan pintu. “Sudah kalian berdiri didepan pintu saja” suara itu kembali terdengar menggelegar, menyambar seisi ruangan itu. Moncong-moncong mulut yang dari tadi memuntahkan pluru tawa seolah berhenti tersumbat oleh dinding yang tebal. Suara itu kembali muncul dengan intonasi yang tidak kalah keras, “lihatlah bocah-bocah tengik didepan kalian (sembari menunjuk kearah mereka) dia sudah jarang mengikuti pelajaran saya, tidak pernah mengerjakan tugas, dan sering bergurau didalam kelas. Apa kalian mau seperti mereka?” terdengar suara sayup-sayup “tidak pak”. Sudah mari kita lanjutkan bab ini, biarlah mereka berdiri didepan sana sampai bel
pulang.Tet..tteeett... “baiklah anak-anak kita akhiri pelajaran hari ini, jangan lupa mengerjakan PR yang saya berikan pada halaman 11-30, dikumpulkan besok sebelum bel masuk berbunyi”. Semua murid meninggalkan kelas, sembari menyusun rencana untuk menghadapi serangan fajar yang diberikan guru mereka. Tinggallah dua orang dikelas yang sedang merapikan isi tas mereka “Uuh akhirnya guru itu keluar juga dari kelas kita” seru dua anak adam yang dirampas hak pendidikannya. Kamu mau kmana dit? “aku mau langsung pulang, aku gak mau kena masalah lagi gara-gara lupa ngerjakan tugas besok, aku pulang dulu yah”  iya hati-hati dit.Setelah sampai di parkiran motor arya berpapasan dengan temannya dengan raut muka yang bingung, kenapa kmu? “helm ku hilang yak”, lho kok bisa? “gag tau tadi aku taruh di jok motor, aku ke satpam dulu yah mungkin dia tau helmku”. Perlahan bayangannya menghilang dari pandangan arya sembari berjalan menuju pos satpam. Arya berbisik dalam hati “apakah ini yang dinamakan dunia pendidikan?, yang dipenuhi maling didalamnya”.Arya sadar dari lamunannya, tanpa disadari dia tidak mendapati kunci motor dalam saku kanannya. “sial mana kunci motorku? Apes banget aku hari ini” kembali arya menyusuri jalan yang dilaluinya. Saat melewati koridor-koridor ruang kelas, arya tertegun melihat sebuah rak buku tua di dalam gudang yang terbuka. Kembali pikirannya berkelana “betapa bodohnya aku membiarkan guru tadi merampas hakku? seenaknya menyuruhku berdiri didepan kelas, seakan aku barang yang tak berguna seperti apa yang aku lihat, dan menyuruh anak didiknya menyalin puluhan lembar buku untuk diganti dengan coretan tinta merah mengecewakan”. Aku yakin tidak hanya “aku” yang berfikir demikian. Mungkin karena mereka pribadi yang lemah, jadi mereka tidak berani berontak. Bagaimana negara kita berlari kalau kakinya masih terbelenggu di tanahnya sendiri.Pemuda itu melanjutkan lamunannya, ketika melihat patahan sayap patung garuda. Kembali hatinya berbisik, keadaan negaraku sama sepertimu,  Engkau telah dilupakan, petinggi yang diwajibkan berkawan denganmu, malah lupa akan sila-silamu. Tiap hari senin engkau dibaca puluhan ribu kaum terpelajar, tapi mereka tidak mengerti akan silamu, banyak pengajar hanya mendidik mereka dengan cara menghafal dan tekanan, bukan pemahaman. Seperti yang dilakukan guru itu pada murid sekolahku.Ditengah lamunannya ia disapa tukang kebun sekolah, “hai anak muda, ada apa engkau terdiam didepan gudang kotor yang hina ini, tempatmu bukan disini” ah bapak ini mengagetkan saya saja. Mengapa gudang ini dibiarkan terbuka pak? “aku ingin membuka hati setiap orang yang melewatinya, bahwa ada tempat yang lebih hina dari yang kamu tempati sekarang”. Memangnya tempat itu apa pak? “lihatlah anak muda, masih banyak saudara kita yang tidak mempunyai tempat dinegaranya ini, meskipun tempat itu yang paling hina mereka tidak punya. Itu terjadi karena begitu luasnya kekuasaan dan kesewenang-wenangan beberapa pihak”.Arya heran mendengan perkataan sosok tua renta tapi perkataannya mencerminkan orang besar. Mengapa engkau jam segini belum pulang?” saya mencari kunci motor saya pak, bagaimana ciri-cirinya? Ada gantungan tasbihnya pak. Mungkin ini yang kau cari anak muda “sembari mengeluarkan kunci yang bergantungkan tasbih” iya ini kepunyaan saya pak, dimana bapak menemukannya? Tadi saat aku menyapu koridor sekolah.“Kamu hebat anak muda, dengan umur belia kau sudah rajin sembahyang” saya jarang sembahyang pak, lantas mengapa engkau menggunakan tasbih sebagai gantungan kuncimu? Itu disuruh abah saya pak, saya belum siap solat. Masih banyak perilaku saya yang menyimpang agama. Kadang saya kasihan melihat orang-orang yang giat mendatangi rumah ALLAH hingga muncul tanda surga didahinya, tetapi perbuatannya banyak merugikan orang lain.Saya pamit dulu yah pak, ditunggu abah saya dirumah ,”hati-hati anak muda", aku tidak mau engkau celaka hanya karena gengsi orang lain atau karena rintihan anak yang terbelenggu ketidak pastian, karena sesungguhnya aku yakin engkaulah penyelamat mereka”. Baik pak saya pulang dulu. Ini pak ada sedikit kelebihan rejeki dari saya, “tidak-tidak” pak tua itu menolaknya mentah-mentah, belum tentu kamu memberi saya uang, kalau saya tidak menemukan kuncimu, lebih baik budaya terima kasih di negara ini dihapuskan karena akan menimbulkan efek yang besar dalam segala hal. Sudah sekarang pulanglah, abahmu sudah terlalu lama menunggu, terimah kasih pak semoga kebaikan bapak mendapat balasan oleh ALLAH, segera arya menghilang begitu cepat, hingga suasana sekolah begitu sunyi.Sesampai dirumah arya teringat oleh segudang tugas yang diberi gurunya itu, “sial aku ada tugas”, kembali pikirannya berangan-angan, tapi buat apa aku mengerjakan toh aku sudah mendapat stempel merah dari guru itu. Tetapi dalam hati kecil arya berkata “sudah dikerjakan saja toh kan cuman ngerangkum”. Tidak saya tidak mau dipaksa oleh siapa pun, hati saya tidak berbahan bakar paksaan tapi kesadaran, “justru orang yang dipaksa itu akan berontak walaupun ia dipaksakan hal yang baik”.Mengapa pendidikan terasa memaksa anak didiknya untuk mempelajari semua hal yang tidak disukai? Sedangkan habibie hanya mendalami satu bidang kerja, tak mungkin dia bisa menjahit pola bajunya sendiri. “Wahai para pilar-pilar bangsa yang sedang berkuasa, tidakkah kalian mengerti apapun sesuatu yang dijalankan dengan rasa senang akan terasa nyaman, tetapi banyak praktek terasa membelenggu, “apakah kebebasan itu mahal sehingga harus menjadi kaya dahulu baru bisa merasa bebas?”Malam harinya, “Aduh gimana nih PR ku ?” cuek ah, aku sudah tidak semangat lagi, Tapi bagaimana kalau aku dihukum lagi? Ohh yah besok aku bolos ajah. Tanpa sadar tanganya sudah menyambar HP disebelahnya, “aku sms anak-anak aja siapa tau ada yang mau menemaniku bolos”. Satu persatu teman arya membalasnya. Ternyata tidak ada yang berani menemani arya bolos, “yasudah besok aku bolos sendiri aja”.Keesokan harinya suasana kelas sudah mencekam, sembari mengecek tugas yang diberikan, guru senior itu mengabsen murid-muridnya. Ayo semua baju dirapikan, “Mana teman mu itu, radit?” Saya tidak tahu pak. Ayo kita lanjutkan bab berikutnya, yang tidak mengumpulkan atau kurang tugasnya silahkan keluar, sebelum saya perintahkan. Satu persatu pejuang pendidikan berguguran dari ruang kelas, diruang kelas hanyalah tersisa jiwa-jiwa lunak. Mereka rela berjam-jam menyalin puluhan lembar buku demi kesenangan gurunya dan tinta kebanggaan di rapor mereka.“Enaknya kmana yah?” aduh bingung, seketika arya ingat nasib teman-temannya dikelas. “Mungkin mereka sedang menghitung banyaknya mobil yang lewat didepan sekolah” hahaha. Aku ketaman kota ajah ahh, setelah memacu bebek hitamnya akhirnya arya sampai ditaman kota.“Beli rokok ahh”, daripada pikiran suntuk duduk sambil rokokan kan enak. Disudut taman arya melihat sepasang kekasih sedang bertengkar, terlihat wanitanya sedang menangis. Wanita itu pun pergi. Lelaki itu terlihat merenung, arya menghampiri lelaki itu. Hai saudaraku, kulihat kau begitu menyesali kepergiannya. Lelaki itu hanya menatap arya dengan pikiran kosong.“Bolehkah kau berbagi pengalaman padaku, aku pun disini sedang banyak masalah”. “Aku sedang bingung menggunakan pisau tajam karunia tuhan itu”, apa yang kau maksud itu kawan? Kelebihan yang diberikan tuhan padaku, sosok yang rupawan itu akhirnya angkat bicara. “aku begini karena diriku yang diatas rata-rata orang awam”, bukannya engkau harusnya bersyukur karena karunia itu? “tidak kau salah besar kawan, disaat orang yang wajahnya pas-pasan mengidamkan wajah yang rupawan, mereka tidak tahu kalau wajah yang rupawan itu mendatangkan bencana”.Dengan alasan apa kau berbicara begitu? “coba kau pikir, kalau dengan wajah yang rupawan, kaya harta, wanita mana yang tidak mau? Bukanya kau bisa memilih yang terbaik diantara mereka? Aku tak bisa memilihnya, mereka sendiri yang mendekati aku, tanpa sadar aku telah menyakiti mereka, “ini merupakan derita buatku !”.Kau lihat wanita tadi, “dia sudah kukhianati dan kunodai” sebenarnya kejadian itu tidaklah aku kehendaki. Ketika aku merusak wanita yang baik hatinya bagaikan seorang wanita yang hanya sekedar mengagumi hartaku dan ingin kutiduri, Kucing mana yang tidak mau dikasih ikan segar? “sudahlah, lebih baik kau meminta maaf kepadanya dan mempertanggung jawabkan perbuatanmu”, terlambat dia sudah tidak mau menerimaku lagi, dia berkata “lebih baik ku besarkan anak yang tidak tau apa-apa ini sendirian, daripada mempunyai bapak yang keji seperti kau”. “sekarang kau sudah sadar, kejarlah kembali cintamu kawan ! jangan biarkan dia rapuh tanpa kehadiranmu, mohon maaf kembali padanya, dengan tidak mengulangi perbuatanmu lagi dan bertanggung jawab”.Tuhan maha pemurah kawan, semoga Dia mengabulkan niat baikmu. “baiklah akan ku kejar cintaku kawan, terima kasih sudah membuka harapanku lagi”, perlahan mobil sport merah itu meninggalkan taman kota bersama harapan yang mulia.

No comments:

Post a Comment