Wednesday, January 25, 2012

CERPEN : masa putih abu


Mungkin ini memang jalan takdirku
 Mengagumi tanpa dicintai 
 Tak mengapa bagiku
  Asal kau pun bahagia dalam hidupmu….

Pandangan mataku tertuju pada seorang wanita cantik yang duduk di bangkunya. Dia adalah wanita yang selama ini telah menumbuhkan rasa cinta dalam hati dan jiwaku, subur bagaikan benih yang disebar di ladang yang gembur. “Sungguh cantik dirimu hari ini. Dan kecantikanmu itu mampu membuatku merasakan getaran cinta yang ‘tak mampu terhitung dengan skala Richter,” pujiku dalam hati.
Dia adalah teman sekelasku. Jadi kapanpun aku bisa untuk memandanginya, sekalipun pelajaran tengah berlangsung. Namun hanya sebatas memandang saja, tidak lebih. Dia hanyalah gadis yang kucintai tapi tidak mungkin aku miliki. Aku hanya memendam perasaanku ini padanya. Kasihan.
Aku memeng sangat mencintainya tapi  aku pun merasa ‘tak  mampu untuk mengungkap sebuah kata yang pasti pernah dirasakan semua insan di dunia. Cinta. Ya, cintaku itu ‘tak bisa kuungkapkan padanya karena aku ini lemah. Miskin. Sedang dia? Dia adalah orang berkecukupan yang ‘tak pernah merasakan pahit getirnya berada dalam lingakaran kemiskinan. Dan  -sangat bisa- dipastikan dia ‘tak kan bisa menjalani sebuah ikatan cinta denganku.
Ya Tuhan, mengapa begitu berat beban asmaraku ini? Mengapa aku hanya mampu memendam cinta saja padanya dan itu berlangsung sudah lama. Begitulah celotehku bila terbayang lagi wajahnya di pikiranku. Namun itulah yang harus terjadi pada diri yang mempunyai  rasa cinta yang begitu besar.
Diam . ya, pastinya  aku hanya bisa diam dalam keterpurukan perasaan yang suci ini. Mungkin memendamlah jalan terbaik. Memendam cinta ‘tak mengapa lah bagiku, mungkin karena  aku bukan hanya sekali ini saja mengalaminya aku rela untuk  menyimpan cinta yang bisa menghancurkan kebahagiaan. Aku rela kebahagiaan itu hilang demi dirinya, karena itulah arti cinta yang sebenarnya. Bukankah berkorban demi orang yang kita cintai itu lebih baik, lebih afdal? Meskipun pengorbanan itu adalah kebahagiaan sendiri. Meskipun –sebenarnya- menyisakan luka yang mendalam.

Aku pun ‘tak pernah ingin jika dia tahu bahwa aku ada perasaan padanya. Bahkan sahabat-sahabatku pun ‘tak ingin kuberi tahu, kecuali kepada Mira. Itu pun karena Mira mendesakku untuk mengatakan siapa sebenarnya wanita yang disukai cowok seperti aku.
“An, siapa sih, cewek yang kamu suka?”
“Ah, jangan ngaco kamu. Aku tidak suka sama siapa-siapa.”
“Jangan bohong kamu,”  katanya tidak percaya.
“Masak sih, aku bohong sama teman sendiri.”
“Tapi aku tidak suka dan tidak bisa dibohongi, loh. Ayolah, masak kamu mau pake rahasia-rahasiaan sama teman sendiri.”
“OK. Aku memang suka sama seseorang….”
“Cewek itu sekelas sama kita…,” jawabku, lalu membisu kembali. Aku ‘tak kuasa menyebut nama wanita itu di depan Mira. Mulutku terasa terkunci.
“Siapa?” desak Mira. Aku kumpulkan sedikit keberanian dan kekuatan untuk menyebut nama itu.
“Ayu,” ucapku pelan penuh beban.
“Apa?” Mira terperanjat kaget. Dan aku memang sudah menduga itu sebelumnya.
“Iya.”
“Terus apa rencana kamu selanjutnya? Nembak dia? Aku bisa bantu kamu kok. Dia ‘kan sahabatku.”
“Mir, terlalu sulit  aku untuk melakukan itu. Aku berpikir rasional. Hatiku memang cinta, namun apakah kamu tahu , kalau bibirku terbalut untuk mengatakannya? Aku tahu diri. Aku bukan tipe orang yang mau memperturutkan rasa namun akhirnya hanya akan menyakiti orang yang sangat aku sayangi hanya karena aku tak mampu memenuhi semua keinginannya. Bagiku dia memang adalah  cinta sejatiku, belahan jiwaku. Aku hanya bisa berharap semoga saja waktu akan mampu mengubur pearsaanku padanya. Apa kamu tidak tahu, aku sangat berbeda dengannya. Aku bagaikan pungguk merindukan bulan,” kucurahakan semua perasaanku. “Mir, please jangan sekali-kali katakan semua ini pada Ayu. Aku percaya kamu.”
Hari- hari pun masih kulalui dengan tetap mengaguminya. Sang waktu yang kutuggu belum juga datang  untuk menyingkirkan perasaanku. Biarlah aku memendam saja, meskipun aku tahu ada Mira yang bisa membantu aku keluar dari tersiksanya memendam sesuatu yang mutlak untuk dimiliki.
Ayu hanya menjadi bayangan semu di dalam hatiku, harapan yang  ‘tak bisa terwujud. Kisahku pun ‘tak terukir dalam lembaran sejarah bersamanya. Indahnya kisah romantika cinta yang menghiasi televisi dan mewarnai bioskop ‘tak seindah denganku. Kisah cinta sejati Romeo dan Juliet ‘tak pernah kualami. Perjuangan cinta abadi Rama dan Sinta pun ‘tak pernah kudapatkan dalam hidupku. Aku hanya menjadi penonton setia saja.
Aku berdiri dari tempat dudukku dalam kelas. Wajah Ayu yang memang ayu  di sudut ruangan kelas ini berseri dengan senyuman khasnya yang menarik. Senyuman manis itu adalah embun yang menyejukkanku setiap hari di dalam kelas yang bersuhu panas ini. Aku tetap berharap dia ‘tak ‘kan pernah tahu hal ini walaupun sahabatnya sendiri sudah tahu. Aku percaya sama Mira. Tapi…. Apa aku ini bodoh? Tolol? Jembatan kokoh untuk mendapatkan Ayu sudah ada di depanku, tetapi mengapa aku tetap saja memilih untuk membungkamkan perasaan ini, kenapa aku mesti menjebak diriku sendiri dalam cinta terpendam yang menyakitkan hati? Mengapa aku lebih menyukai untuk berharap pada sesuatu yang ‘tak pernah terwujud? Apakah ini namanya cinta yang ‘tak pernah terpikirkan olehku sebelumnya?
Terdengar jelas lantunan lagu Cinta Dalam Hati miliknya Ungu di telingaku. Sejenak aku menikmatinya. Lagu itu seperti apa yang aku rasakan, seperti yang aku derita dan sangat tepat untuku. Apa mungkin hal serupa bukan cuma aku saja yang mengalaminya? Mungkin. Tapi apakah banyak yang sedahsyat yang aku alami, apakah ada yang tetap bertahan sekian tahun seperti aku? Bertahan dalam asa dan harapan yang ‘tak pasti. Apakah ada yang sudah menganggap cinta terpendamnya itu adalah cinta sejati, belahan jiwa, bintang hati namun sebatas cinta dalam hati saja? Entahlah.

No comments:

Post a Comment