Kusandarkan tubuhku pada kursi tua di teras rumah, sambil meneguk sedikit demi sedikit kopiku yang masih mengepulkan uap panas. Mataku tertuju pada langit sore yang membentang indah dihadapanku. Catatan kecilku yang kubiarkan tetap terbuka, perlahan melambai tertiup angin dan memperlihatkan halaman-halaman selanjutnya. “sejak kapan kau menyukai senja?” aku terkejut mendengar suara ibu yang tiba-tiba saja berada didekatku. Terdengar suara derit kursi disampingku ketika ibu
duduk di atasnya. Aku hanya dapat tersipu dengan pertanyaan itu. “ah ibu, sudah pasti sejak aku sadar bahwa senja itu indah” jawabku asal. “ehem, jujur? Bukannya sejak kau jatuh cinta pada pangeran senja?” ibu menggodaku dengan cengiran nakalnya. Aku mengerling ibu, kulihat ia tengah asyik membuka-buka catatan kecilku. “jangan dibaca ibu!” kataku memohon, seraya berusaha merebut catatan itu dari tangan ibu yang sengaja diangkat tinggi-tinggi untuk menghindariku. “hahaha… kenapa sayang? Ada rahasia ya?” Tanya ibu tertawa. Aku hanya membuang muka yang memonyongkan bibirku beberapa centi. “nah kan…cemberut… pasti ada yang kau sembunyikan dari ibu” kesimpulan ibu benar-benar tepat sasaran. “hemmmmmm………” sahutku muram. “hem….. ’7 Desember. Benar yang dikatakan pangeran itu, senja memang selalu terlihat indah dilihat dari sudut manapun’” ibu membaca catatanku sambil setengah tersenyum. Aku melotot memandang ibu, mungkin pipiku sudah sewarna tomat sekarang ini. “’29 Desember. Pangeran itu selalu mampu melihat keindahan sekecil apapun dari segala sesuatu yang pernah dilihatnya. Andai saja aku seperti dia, pasti hidupku akan terasa lebih indah meski kenyataannya berlawanan’” ibu menghentikan bacaanya dan memandangku. Aku hanya dapat mengangkat bahuku sekilas. “ayolah bu… kembalikan catatanku…” kutangkupkan kedua tanganku di atas kening. Ibu hanya bergeming dan kembali membaca. “’11 Januari. Aku senang bisa mengenal pangeran senja itu lebih dekat… tapi dari caranya memandang, sepertinya pangeran itu menyimpan luka. Aku ingin menjadi obatnya, jika memang seperti itu adanya…’” ibu mulai tersenyum lagi. Lama-lama menyebalkan juga… “’24 Februari. Sepertinya… aku jatuh cinta pada pangeran itu… ah, tidak,tidak! Dia terlalu jauh untukku! Aku tak boleh mencintainya!’” ibu tertawa. “masih belum puas juga bu?” Tanyaku sinis. Ibu tak memperdulikan tanggapanku sama sekali. “’12 Maret. Oh Tuhan…Pengeran senja menyatakan perasaannya padaku. Dia MENCINTAIKU! Aku benar-benar gadis paling beruntung sedunia!’” ibu kembali tertawa. Aku kesal dan berdiri untuk merebut catatan itu dari tangan ibu, dan berhasil. Menutupnya dengan kasar dan berjalan masuk menuju kamarku. “hey, gadis yang paling beruntung sedunia… ngambek nih…” ibu mengikutiku sampai ke kamar. Aku membaringkan tubuhku di atas ranjang dan membungkam mukaku dengan bantal, menangis. “jangan nangis dong putri Bintang… ibu minta maaf deh…” ibu duduk disampingku dan membelai lembut rambutku. “emm… aku sedih bu…” isakku. “lho, kok sedih? Harusnya kamu bahagia putriku… dicintai seseorang itu indah, sama indahnya jika kita mencintai seseorang. Apalagi dicintai oleh orang yang kita cintai…” “tapi bu, kami terlalu jauh berbeda… aku takut menerima cintanya…” aku bangkit dari tidurku dan duduk di depan ibu. “jangan takut sayang… hidup ini penuh tantangan, ada suka ada luka, ada pertemuan pasti juga akan ada perpisahan…” “aku takut kehilangan dia setelah aku benar-benar mencintainya ibu…” ibu tersenyum dan menyeka air mataku dengan tangannya. “jalan hidupmu masih panjang. Jangan takut menghadapi apapun nak, toh belum tentu pangeran itu menjadi jodohmu kelak. Semua itu telah diatur oleh Allah, sekarang tinggal kita yang harus berusaha…” “tapi aku mau pangeran itu yang menjadi jodohku bu…” “Putriku, jika dia jodohmu, mintalah pada Allah untuk memberimu kekuatan untuk mendapinginya. Tetapi jika dia memang bukan jodohmu, mintalah pada Allah untuk memisahkan kalian dengan cara yang baik…” ibu mendekat dan memelukku lembut, aku membalas pelukannya sambil tersedu dipundak ibu. “ibu… aku takut… kisah cintaku dan pangeran Senja akan berakhir seperti ayah dan ibu…” “sayang, apakah kamu percaya pada kekuatan cinta yang diberikan pangeran itu padamu?” “emm… iya ibu, aku percaya…” “kalau begitu percayalah padanya bahwa dia akan membuat hidupmu indah dan akan menjadi seseorang yang pertama ada saat kamu membutuhkannya… Eits, tapi kalau sekarang, cukup ibu dulu yang akan selalu ada di sampingmu dan mendampingi setiap langkah yang kamu tempuh” ibu memandang mataku dengan tatapan yang menyejukkan dan senyumannya yang indah. Aku membalas senyuman itu. “iya… Aku sayang ibu…” ungkapku. “ibu juga nak. Tak terasa ya, kamu sudah beranjak dewasa. Padahal sepertinya baru kemarin ibu menimang dan menggedongmu kesana-kemari…” “ah ibu… masa aku jadi anak kecil selamanya sih…” ibu tertawa. “kalau begitu, kapan kamu akan mengenalkan pangeran Senja pujaanmu itu pada ibu?” Tanya ibu setengah menggodaku. Aku terkejut mendengar pertanyaan itu, pipiku kembali merona merah. “ah… kalau itu… kapan ya… hahaha…” aku kembali tertawa bersama ibu. Cahaya senja sudah mulai padam sekarang, namun pangeran Senja-ku, masih tetap akan bersinar di dalam hatiku. Selamanya
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment